Sejarah Provinsi Kalimantan Selatan

Kamis, 13 Oktober 2011

DAYAK MERATUS MENJAGA HUTAN, NEGARA MERUSAKNYA


SEKALIPUN pemerintah pusat mengizinkan perusahaan pertambangan 
emas beroperasi di daerah kami, kami tetap akan menolaknya karena 
Pegunungan Meratus merupakan hutan lindung, napas kami, dan paru-paru 
dunia," kata warga Dayak Meratus di Kecamatan Hampang, Kota Baru, 
Kalimantan Selatan.

TUNTUTAN itu mewakili sekitar 750 perwakilan warga Dayak Meratus
dari 300 balai (rumah besar pusat kegiatan adat) yang tersebar di
seluruh Kalsel. Mereka baru saja menggelar kongres selama empat hari
yang berakhir Kamis (26/6).
Salah satu rekomendasi dari kongres adalah menolak apa pun bentuk
eksploitasi terhadap Hutan Lindung Pegunungan Meratus (HLPM). Di
antara pengeksploitasinya adalah perusahaan pertambangan emas PT
Meratus Sumber Mas (PT Placer Dome Indonesia dan PT Scorpion Placer
Dome).
Perusahaan itu baru saja mendapat izin dari pemerintah pusat
untuk menambang di hutan lindung bersama 14 perusahaan lainnya di
seluruah Indonesia. Walaupun penolakan masyarakat adat pernah
dilontarkan sebelumnya, suara-suara itu toh dianggap tidak ada.
Menurut warga Kecamatan Hampang Kota Baru yang ketempatan
pertambangan itu, Ardiansyah, mereka menolak kehadiran perusahaan
itu karena daerah tersebut merupakan HLPM. Lokasi tambang itu juga
merupakan tempat warga Dayak Meratus mencari buah-buahan, madu, dan
hasil hutan lainnya.
Di sekitar lokasi tambang itu juga ada sumber mata air sekaligus
daerah tangkapan air daerah aliran sungai (DAS) berbagai penjuru
wilayah. "Di situ juga ada hutan keramat yang harus kami jaga
kelestariannya," kata Ardiansyah.
Lalu, apakah pernyataan kongres masyarakat adat Dayak Meratus itu
bisa dijadikan bekal untuk menolak kehadiran perusahaan penambangan
emas itu? Para anggota DPRD Kalsel pun menganggap masalah itu
wewenang pemerintah pusat.
Peluang dukungan dari anggota DPRD Kalsel memang ada, namun
secara kelembagaan sangat kecil. Track record DPRD Kalsel sendiri
juga buruk, mengingat DPRD Kalsel-lah yang membuat Peraturan Daerah
Nomor 9 Tahun 2000 yang menjadikan areal hutan lindung bisa disulap
menjadi hutan produksi.
***

LALU, kekuatan apa lagi yang bisa ÆmembekingiÆ Dayak Meratus
untuk ÆmelawanÆ keputusan pemerintah pusat? Koordinator Aliansi
Meratus Muhammad Saleh berharap perjuangan masyarakat adat berlanjut,
karena langkah itu didukung konvensi International Labour
Organization (ILO) Nomor 169 tentang Bangsa Pribumi dan Masyarakat
Adat di Negara-negara Merdeka.
Jika negara tetap menjadikan HLPM sebagai areal tambang
sementara, masyarakat adat menolaknya, perbuatan itu bertentangan
dengan konvensi ILO No 169, terutama Pasal 7 Ayat (1). Dalam pasal
tersebut disebutkan bahwa masyarakat adat memiliki hak menolak
pembangunan yang tidak sesuai dengan prioritas mereka.
Masyarakat adat berhak mempunyai prioritas sendiri yang
menyangkut proses pembangunan, mengingat hal itu akan mempengaruhi
kehidupan, kepercayaan, lembaga-lembaga, dan keadaan spiritual mereka
dan tanah yang mereka tempati atau yang mereka pergunakan, dan untuk
menjalankan kontrol, sejauh mungkin dilakukan, terhadap pembangunan
ekonomi, sosial dan budaya mereka sendiri.
Masyarakat adat seharusnya juga diikutkan dalam setiap
pembentukan, pelaksanaan, dan evaluasi dari rencana-rencana atau
program-program pembangunan regional maupun nasional yang akan
membawa pengaruh bagi mereka secara langsung. Namun, semua itu tak
pernah dilakukan terhadap Dayak Meratus.
***

BEGITULAH ironi yang terjadi di negeri ini. Dayak Meratus yang
hanya dipandang sebelah mata oleh warga kota karena dianggap sebagai
suku terpencil dan suku terasing, justru secara sadar dan waras mati-
matian menyampaikan pembelaannya terhadap HLPM.
    Sebaliknya yang terjadi, negara yang dianggap memegang 
representasi tertinggi dalam penentuan kebijakan dan mempunyai 
segudang ilmuwan kelas kakap, ternyata tingkat kearifannya hanya 
kelas teri. Kalau begitu, yang menjadi pertanyaan krusial Dayak 
Meratus adalah: fungsi negara itu untuk perusahaan atau untuk rakyat?
    Pertanyaan penting itu, dan sekarang mulai menjadi pernyataan, 
tertulis dalam spanduk besar di ruangan kongres. Bunyinya, "Kalau 
Negara Tidak Mengakui Kami, Kami pun Tidak Akan Mengakui Negara" yang 
diambil dari pernyataan Kongres Masyarakat Adat Nusantara tahun 1999.
    Deklarasi itu jangan diartikan Dayak Meratus akan lepas dari 
Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), bukan juga menempatkan 
Dayak Meratus sebagai pro-golongan putih (golput) saat pemilihan 
umum. Deklarasi itu sekadar mempertanyakan peran negara sejauh ini 
terhadap keberlangsungan Dayak Meratus dan lingkungannya.
    Dayak Meratus yang ditemui di kongres maupun yang didatangi 
sampai ke balai masih mempertanyakan peran negara terhadap kemajuan 
kehidupan adat mereka. Pertanyaan peran ini menjadi pertanyaan 
berabad-abad yang hingga kini belum terjawab, dan negara sendiri 
tampaknya tak mau ambil pusing untuk menjawabnya.
    Terbukti hingga sekarang Indonesia belum meratifikasi konvensi 
ILO 169. Padahal, konvensi itu penting untuk pengakuan hak kolektif 
dan kearifan masyarakat adat. Termasuk hak menentukan jati diri, hak 
beragama sesuai pilihan, dan hak menentukan pendidikan yang sesuai 
norma adat mereka.
    Kementerian Riset dan Teknologi pernah mempunyai program 
perlindungan pengetahuan tradisional yang meliputi tari-tarian, seni 
ukir dan pahat, seni tenunan, arsitektur tradisional, pemuliaan 
tanaman, serta tentang metode pengobatan serta pengetahuan tanaman 
obat-obat.
    Namun, hingga kini program itu belum membantu menyadarkan 
pemerintah akan arti kekayaan masyarakat adat. Padahal, memasuki 
perdagangan bebas ilmuwan asing bisa lalu-lalang ke pedalaman 
menyerobot kekayaan alam dan pengetahuan adat yang tersembunyi itu.
                                ***
    
    TAHUN 2003 memang dapat dikatakan sebagai tahun pengharapan bagi 
masyarakat adat Dayak Meratus. Dengan dukungan kaum intelektual kota, 
mereka merasa percaya diri untuk tampil di hadapan umum dan menuntut 
keadilan.
    Sosiolog yang kini sedang meneliti gerakan masyarakat adat 
Kalsel, George Junus Aditjondro, mengakui bahwa kini gerakan 
masyarakat Dayak Meratus semakin solid dibandingkan pada tahun 1980. 
George yang hadir dalam kongres masyarakat adat Kalsel mengungkapkan 
kesolidan itu terbentuk karena ada dukungan masyarakat kota.
    "Waktu saya ke balai Dayak tahun 1980, warga kota masih 
menganggap citra suku Dayak sebagai suku bukit primitif yang 
mempunyai ilmu aneh-aneh sehingga orang kota menghindari ke 
pedalaman," katanya. Kini pencitraan terhadap Dayak Meratus semakin 
baik. Warga kota mendukung gerakan mereka yang akan menjaga HLPM. 
Karena jika HLPM terganggu, sungai di Banjarmasin juga akan terimbas.
    "Jadi, warga Dayak Meratus punya kepentingan menjaga budaya 
hutan, sedangkan suku Banjar mempunyai kepentingan menjaga budaya 
sungai. Dua sinergi ini saling mendukung untuk menjaga HLPM," kata 
George.
    Oleh karena itu, akan aneh sekali jika warga kota menolak menjaga 
HLPM. Sepanjang pengamatannya, George Aditjondro menyatakan, gerakan 
masyarakat adat Kalsel adalah gerakan murni menjaga lingkungan dan 
menuntut hak adat mereka, tidak lebih dan tidak kurang.
    Namun, ketika untuk pertama kalinya Dayak Meratus mulai mempunyai 
kepercayaan diri untuk sejajar dengan warga lainnya, sebuah kejadian 
ala Orde Baru terulang. Salah satu pengurus Persatuan Masyarakat Adat 
Dayak Meratus (Permada) seusai kongres ÆdipanggilÆ aparat.
    Koordinator Aliansi Meratus Muhammad Saleh mengatakan, pengurus 
Permada sepulangnya dari kongres bertemu dengan aparat Bintara 
Pembina Desa (Babinsa) di Desa Labuhan, Batang Alai Selatan, Hulu 
Sungai Tengah. Dia kemudian dibawa ke Kodim Barabai Hulu Sungai 
Tengah.
    "Di Kodim dia ditanya macam-macam seputar aktivitasnya selama 
ini," kata Saleh. Pengurus Permada tadi diintimidasi agar tidak 
meneruskan kegiatannya. Lucunya, aktivitas pengurus tadi 
dikategorikan mengancam integrasi bangsa dan menyesatkan, serta 
membuat masyarakat Kalimantan akan bermusuh-musuhan.
    Kongres adat itu juga dianggap sebagai langkah untuk membentuk 
Kalimantan Merdeka. "Masak, orang Dayak yang lugu dianggap akan 
membuat gerakan yang menyesatkan dan akan membuat Borneo Merdeka," 
kata Saleh sambil tertawa.
    Walaupun di telinga Saleh isi materi interogasi menggelikan, bagi 
warga Dayak Meratus interogasi itu menakutkan. Padahal, kongres itu 
sendiri mendapat sambutan baik dari Gubernur Sjachriel Darham yang 
waktu itu juga menjadi pembicara.
    Oleh karena itu, masyarakat kota dan masyarakat adat berharap 
agar bentuk-bentuk intimidasi untuk menghentikan langkah Dayak 
Meratus mengonservasi HLPM.
    Di negeri ini memang banyak ironi. Masyarakat yang dengan sadar 
melakukan konservasi hutan mendapat intimidasi, sementara yang 
merusaknya mendapat uang. Entah apakah ironi itu akan berlanjut atau 
tidak.