SEKALIPUN pemerintah pusat mengizinkan perusahaan pertambangan
emas beroperasi di daerah kami, kami tetap akan menolaknya karena
Pegunungan Meratus merupakan hutan lindung, napas kami, dan paru-paru
dunia," kata warga Dayak Meratus di Kecamatan Hampang, Kota Baru,
Kalimantan Selatan.
TUNTUTAN itu mewakili sekitar 750 perwakilan warga Dayak Meratus dari 300 balai (rumah besar pusat kegiatan adat) yang tersebar di seluruh Kalsel. Mereka baru saja menggelar kongres selama empat hari yang berakhir Kamis (26/6). Salah satu rekomendasi dari kongres adalah menolak apa pun bentuk eksploitasi terhadap Hutan Lindung Pegunungan Meratus (HLPM). Di antara pengeksploitasinya adalah perusahaan pertambangan emas PT Meratus Sumber Mas (PT Placer Dome Indonesia dan PT Scorpion Placer Dome). Perusahaan itu baru saja mendapat izin dari pemerintah pusat untuk menambang di hutan lindung bersama 14 perusahaan lainnya di seluruah Indonesia. Walaupun penolakan masyarakat adat pernah dilontarkan sebelumnya, suara-suara itu toh dianggap tidak ada. Menurut warga Kecamatan Hampang Kota Baru yang ketempatan pertambangan itu, Ardiansyah, mereka menolak kehadiran perusahaan itu karena daerah tersebut merupakan HLPM. Lokasi tambang itu juga merupakan tempat warga Dayak Meratus mencari buah-buahan, madu, dan hasil hutan lainnya. Di sekitar lokasi tambang itu juga ada sumber mata air sekaligus daerah tangkapan air daerah aliran sungai (DAS) berbagai penjuru wilayah. "Di situ juga ada hutan keramat yang harus kami jaga kelestariannya," kata Ardiansyah. Lalu, apakah pernyataan kongres masyarakat adat Dayak Meratus itu bisa dijadikan bekal untuk menolak kehadiran perusahaan penambangan emas itu? Para anggota DPRD Kalsel pun menganggap masalah itu wewenang pemerintah pusat. Peluang dukungan dari anggota DPRD Kalsel memang ada, namun secara kelembagaan sangat kecil. Track record DPRD Kalsel sendiri juga buruk, mengingat DPRD Kalsel-lah yang membuat Peraturan Daerah Nomor 9 Tahun 2000 yang menjadikan areal hutan lindung bisa disulap menjadi hutan produksi. ***
LALU, kekuatan apa lagi yang bisa ÆmembekingiÆ Dayak Meratus
untuk ÆmelawanÆ keputusan pemerintah pusat? Koordinator Aliansi Meratus Muhammad Saleh berharap perjuangan masyarakat adat berlanjut, karena langkah itu didukung konvensi International Labour Organization (ILO) Nomor 169 tentang Bangsa Pribumi dan Masyarakat Adat di Negara-negara Merdeka. Jika negara tetap menjadikan HLPM sebagai areal tambang sementara, masyarakat adat menolaknya, perbuatan itu bertentangan dengan konvensi ILO No 169, terutama Pasal 7 Ayat (1). Dalam pasal tersebut disebutkan bahwa masyarakat adat memiliki hak menolak pembangunan yang tidak sesuai dengan prioritas mereka. Masyarakat adat berhak mempunyai prioritas sendiri yang menyangkut proses pembangunan, mengingat hal itu akan mempengaruhi kehidupan, kepercayaan, lembaga-lembaga, dan keadaan spiritual mereka dan tanah yang mereka tempati atau yang mereka pergunakan, dan untuk menjalankan kontrol, sejauh mungkin dilakukan, terhadap pembangunan ekonomi, sosial dan budaya mereka sendiri. Masyarakat adat seharusnya juga diikutkan dalam setiap pembentukan, pelaksanaan, dan evaluasi dari rencana-rencana atau program-program pembangunan regional maupun nasional yang akan membawa pengaruh bagi mereka secara langsung. Namun, semua itu tak pernah dilakukan terhadap Dayak Meratus. *** BEGITULAH ironi yang terjadi di negeri ini. Dayak Meratus yang hanya dipandang sebelah mata oleh warga kota karena dianggap sebagai suku terpencil dan suku terasing, justru secara sadar dan waras mati- matian menyampaikan pembelaannya terhadap HLPM. Sebaliknya yang terjadi, negara yang dianggap memegang representasi tertinggi dalam penentuan kebijakan dan mempunyai segudang ilmuwan kelas kakap, ternyata tingkat kearifannya hanya kelas teri. Kalau begitu, yang menjadi pertanyaan krusial Dayak Meratus adalah: fungsi negara itu untuk perusahaan atau untuk rakyat? Pertanyaan penting itu, dan sekarang mulai menjadi pernyataan, tertulis dalam spanduk besar di ruangan kongres. Bunyinya, "Kalau Negara Tidak Mengakui Kami, Kami pun Tidak Akan Mengakui Negara" yang diambil dari pernyataan Kongres Masyarakat Adat Nusantara tahun 1999. Deklarasi itu jangan diartikan Dayak Meratus akan lepas dari Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), bukan juga menempatkan Dayak Meratus sebagai pro-golongan putih (golput) saat pemilihan umum. Deklarasi itu sekadar mempertanyakan peran negara sejauh ini terhadap keberlangsungan Dayak Meratus dan lingkungannya. Dayak Meratus yang ditemui di kongres maupun yang didatangi sampai ke balai masih mempertanyakan peran negara terhadap kemajuan kehidupan adat mereka. Pertanyaan peran ini menjadi pertanyaan berabad-abad yang hingga kini belum terjawab, dan negara sendiri tampaknya tak mau ambil pusing untuk menjawabnya. Terbukti hingga sekarang Indonesia belum meratifikasi konvensi ILO 169. Padahal, konvensi itu penting untuk pengakuan hak kolektif dan kearifan masyarakat adat. Termasuk hak menentukan jati diri, hak beragama sesuai pilihan, dan hak menentukan pendidikan yang sesuai norma adat mereka. Kementerian Riset dan Teknologi pernah mempunyai program perlindungan pengetahuan tradisional yang meliputi tari-tarian, seni ukir dan pahat, seni tenunan, arsitektur tradisional, pemuliaan tanaman, serta tentang metode pengobatan serta pengetahuan tanaman obat-obat. Namun, hingga kini program itu belum membantu menyadarkan pemerintah akan arti kekayaan masyarakat adat. Padahal, memasuki perdagangan bebas ilmuwan asing bisa lalu-lalang ke pedalaman menyerobot kekayaan alam dan pengetahuan adat yang tersembunyi itu. *** TAHUN 2003 memang dapat dikatakan sebagai tahun pengharapan bagi masyarakat adat Dayak Meratus. Dengan dukungan kaum intelektual kota, mereka merasa percaya diri untuk tampil di hadapan umum dan menuntut keadilan. Sosiolog yang kini sedang meneliti gerakan masyarakat adat Kalsel, George Junus Aditjondro, mengakui bahwa kini gerakan masyarakat Dayak Meratus semakin solid dibandingkan pada tahun 1980. George yang hadir dalam kongres masyarakat adat Kalsel mengungkapkan kesolidan itu terbentuk karena ada dukungan masyarakat kota. "Waktu saya ke balai Dayak tahun 1980, warga kota masih menganggap citra suku Dayak sebagai suku bukit primitif yang mempunyai ilmu aneh-aneh sehingga orang kota menghindari ke pedalaman," katanya. Kini pencitraan terhadap Dayak Meratus semakin baik. Warga kota mendukung gerakan mereka yang akan menjaga HLPM. Karena jika HLPM terganggu, sungai di Banjarmasin juga akan terimbas. "Jadi, warga Dayak Meratus punya kepentingan menjaga budaya hutan, sedangkan suku Banjar mempunyai kepentingan menjaga budaya sungai. Dua sinergi ini saling mendukung untuk menjaga HLPM," kata George. Oleh karena itu, akan aneh sekali jika warga kota menolak menjaga HLPM. Sepanjang pengamatannya, George Aditjondro menyatakan, gerakan masyarakat adat Kalsel adalah gerakan murni menjaga lingkungan dan menuntut hak adat mereka, tidak lebih dan tidak kurang. Namun, ketika untuk pertama kalinya Dayak Meratus mulai mempunyai kepercayaan diri untuk sejajar dengan warga lainnya, sebuah kejadian ala Orde Baru terulang. Salah satu pengurus Persatuan Masyarakat Adat Dayak Meratus (Permada) seusai kongres ÆdipanggilÆ aparat. Koordinator Aliansi Meratus Muhammad Saleh mengatakan, pengurus Permada sepulangnya dari kongres bertemu dengan aparat Bintara Pembina Desa (Babinsa) di Desa Labuhan, Batang Alai Selatan, Hulu Sungai Tengah. Dia kemudian dibawa ke Kodim Barabai Hulu Sungai Tengah. "Di Kodim dia ditanya macam-macam seputar aktivitasnya selama ini," kata Saleh. Pengurus Permada tadi diintimidasi agar tidak meneruskan kegiatannya. Lucunya, aktivitas pengurus tadi dikategorikan mengancam integrasi bangsa dan menyesatkan, serta membuat masyarakat Kalimantan akan bermusuh-musuhan. Kongres adat itu juga dianggap sebagai langkah untuk membentuk Kalimantan Merdeka. "Masak, orang Dayak yang lugu dianggap akan membuat gerakan yang menyesatkan dan akan membuat Borneo Merdeka," kata Saleh sambil tertawa. Walaupun di telinga Saleh isi materi interogasi menggelikan, bagi warga Dayak Meratus interogasi itu menakutkan. Padahal, kongres itu sendiri mendapat sambutan baik dari Gubernur Sjachriel Darham yang waktu itu juga menjadi pembicara. Oleh karena itu, masyarakat kota dan masyarakat adat berharap agar bentuk-bentuk intimidasi untuk menghentikan langkah Dayak Meratus mengonservasi HLPM. Di negeri ini memang banyak ironi. Masyarakat yang dengan sadar melakukan konservasi hutan mendapat intimidasi, sementara yang merusaknya mendapat uang. Entah apakah ironi itu akan berlanjut atau tidak. |
Kamis, 13 Oktober 2011
DAYAK MERATUS MENJAGA HUTAN, NEGARA MERUSAKNYA
Langganan:
Postingan (Atom)