Sejarah Provinsi Kalimantan Selatan

Sabtu, 23 April 2011

Upacara Syukuran Suku Dayak Meratus .

                                                                         sumber poto:
Memperkenalkan upacara syukuran adat yang dilaksanakan suku Dayak Meratus di provinsi Kalimantan Selatan. Dayak Meratus merupakan kelompok masyarakat Dayak yang hidup dan menetap di desa Kiyu,Kecamatan Batang Alai Timur kabupaten Hulu Sungai Tengah provinsi Kalimantan Selatan. Setiap tahun, suku Dayak Meratus ini menyelenggarakan upacara syukuran adat yakni Aruh Ganal. Seperti tahun sebelumnya, tradisi ini dilaksanakan setiap pertengahan tahun setelah musim panen raya padi tiba, sekitar bulan Juli hingga Agustus. Bagi suku Dayak Meratus, ritual ini diyakini dapat menjauhkan mereka dari bencana gagal panen. Melalui ritual inilah, mereka juga memohon kepada Sang Pencipta agar di musim tanam berikutnya, tanaman mereka terhindar dari hama penyakit dan memperoleh hasil panen yang melimpah.

Bagi suku Dayak Meratus, pelaksanaan tradisi ini memiliki arti penting. Begitu kuatnya kepercayaan mereka terhadap arti tradisi ini, jauh hari sebelum tradisi dilaksanakan, segala kebutuhan tradisi telah disiapkan. Di dalam sebuah balai adat yang bentuknya seperti rumah panggung, mereka biasanya merencanakan rangkaian acara tradisi. 
Para sesepuh adat mengawalinya dengan menentukan hari pelaksanaan tradisi. Biasanya, awal bulan di pertengahan tahun selalu menjadi pilihan waktu pelaksanaan tradisi. Mereka percaya, jika Aruh Ganal digelar pada awal bulan, jumlah hasil panen di tahun berikutnya akan semakin melimpah. Percaya atau tidak, itulah kepercayaan suku Dayak Meratus yang sejak dulu hingga kini masih dilaksanakan.

Tradisi Aruh Ganal biasanya dilaksanakan selama 5 hingga 12 hari. Penentuan itu berdasarkan pada jumlah hasil panen yang mereka peroleh selama satu tahun. Jika hasil panen di tahun ini melimpah, tradisi dilaksanakan hingga 12 hari. Namun jika jumlah panen dinilai tidak terlalu banyak jika dibandingkan hasil tahun sebelumnya, Aruh Ganal hanya dilaksanakan selama 5 hari berturut. Bahkan jika jumlah panen mereka hanya cukup untuk kebutuhan sehari-hari, tradisi ini dilaksanakan hanya dalam 1 hari 1 malam saja.
Setelah hari baik telah ditentukan, suku Dayak Meratus mulai mempersiapkan kebutuhan tradisi satu hari sebelum Aruh Ganal dilaksanakan. Kaum wanita bertugas mempersiapkan hidangan untuk para peserta ritual dan tamu undangan, seperti memasak lamang. Lamang merupakan beras ketan yang telah dicampur santan kemudian dimasukkan ke dalam buluh bambu dan dibakar hingga matang. Sementara kaum lelaki, menghias Balai Adat dengan berbagai jenis bunga dan janur kelapa. Nantinya, di Balai Adat inilah, tradisi Aruh Ganal dilaksanakan. Tak terlewatkan, mereka juga mengundang suku Dayak dari kampung lain dan para pejabat pemerintah setempat untuk hadir dalam upacara adat Aruh Ganal.

Ketika hari tradisi Aruh Ganal tiba, semua warga Dayak Meratus beserta tamu undangan berkumpul di Balai Adat di desa Kiyu. Saat pelaksanaan tradisi, tidak ada satupun warga Dayak Meratus yang umumnya petani bekerja di ladang. Secara khusus, mereka membuat hari itu sebagai hari libur untuk bekerja. Jika tradisi ini dilaksanakan selama beberapa hari, dalam beberapa hari itu pula, suku Dayak Maratus menjadikannya sebagai hari libur.

Biasanya, rangkaian tradisi Aruh Ganal dimulai ketika hari menjelang malam. Dalam tradisi ini, yang menjadi pemimpin yakni Damang, sebutan bagi ketua adat kampung Dayak Meratus. Ketika Damang membaca mantera dan membakar kemenyan, tradisi Aruh Ganal-pun dimulai. Dalam bahasa Dayak, para peserta tradisi membaca doa kepada Sang Pencipta. Tepat di tengah Balai Adat terdapat sesaji yang khusus dijadikan persembahan kepada leluhur desa.

Setelah berdoa, Damang mulai melakukan ritual pemanggilan roh para leluhur. Suara tabuhan gendang yang dimainkan oleh empat orang wanita Dayak menjadi media pemanggilan roh. Ketika beberapa orang warga Dayak Meratus tampak tidak sadarkan diri, saat itulah roh leluhur diyakini masuk ke dalam tubuh mereka. Tanpa ada yang memerintah, mereka berdiri dan menari mengelilingi sesaji yang diletakkan di tengah Balai Adat. Seperti memperoleh kekuatan supranatural, mereka menari tanpa henti hingga hari menjelang pagi. Sementara mereka menari, Damang beserta peserta tradisi yang lainnya membaca doa tanpa henti hingga malam berganti pagi.

Setelah matahari terbit, Damang kembali membakar kemenyan dan membaca mantera. Dengan bantuan Damang itulah, beberapa peserta tradisi yang malam sebelumnya kerasukan roh leluhur, kembali sadar. Ketika itu, warga Dayak percaya, roh leluhur telah hadir dan ikut dalam pesta Aruh Ganal. Acara tradisi kemudian dilanjutkan dengan makan bersama. Menu utama dalam tradisi ini yakni Lamang atau nasi ketan berbungkus buluh bambu yang telah disiapkan sebelumnya. Tanpa ada perbedaan status sosial, setiap peserta tradisi memperoleh lamang dalam jumlah yang sama.

Tanpa membedakan berapa hari tradisi Aruh Ganal dilaksanakan, berdoa, menari, serta makan bersama menjadi rangkaian acara yang rutin dilaksanakan mulai dari hari pertama tradisi hingga tradisi ini usai. Jika tradisi ini dilaksanakan selama 5 hari, suku Dayak Meratus merayakannya selama 5 hari 5 malam tanpa henti. Begitu juga ketika tradisi Aruh Ganal ini berlangsung selama 12 hari. Ketika hari tradisi telah mencapai hari terakhir, ritual Aruh Ganal diakhiri dengan acara pemberian sedekah.

Ketika hari tradisi Aruh Ganal usai, suku Dayak Meratus memberikan beberapa bagian dari hasil panen yang telah mereka peroleh kepada warga dari kampung lain. Tidak ada ketentuan khusus, berapa bagian yang harus diberikan, tergantung pada keikhlasan dari warga Meratus sendiri. Bagi suku Dayak Meratus, tradisi ini bukan hanya sebagai perayaan syukur, melainkan juga simbol mempererat persaudaraan dan saling berbagi kepada sesama. Keesokan hari, setelah pelaksanaan tradisi Aruh Ganal usai, warga Dayak Meratus kembali melaksanakan akifitas keseharian mereka seperti biasa yakni berladang dan berburu di hutan.

Petani Dayak Meratus Peduli Lingkungan



                                                             Sumber photo:
Masyarakat Suku Dayak yang tinggal di kawasan Pegunungan Meratus, yang merupakan bagian dari penduduk asli Kalimantan Selatan, terus mempertahankan cara bertani mereka yang memperhatikan lingkungan.Cara bertani komunitas masyarakat adat terasing di kawasan Meratus Kalsel itu, selain sarat dengan nuansa ritual, mereka sangat menghormati  kelestarian lingkungan.Oleh karena itu, kata seorang tokok Dayak, kurang tepat kalau ada pihak yang menuduh  masyarakat adat Dayak sebagai perusak lingkungan, seperti munculnya kabut asap sebagaimana terjadi beberapa tahun belakangan.


Memang komunitas dayak, yang oleh warga daerah hulu sungai atau "Banua Anam" Kalsel disebut orang bukit itu pada tempo dulu  merupakan peladang berpindah.Mereka, kata Adit, dulu selalu menebang hutan dan membakarnya untuk menyiapkan lahan untuk berladang. Mereka melakukan kegiatan itu untuk keperluan "manugal" atau menanam padi di lahan kering. Namun sebagaimana, kata tokoh dayak di Harungan, Kecamatan Hantakan, Kabupaten Hulu Sungai Tengah (HST), Kalsel, itu, perputaran dalam sistem perladangan berpindah yang dilakukan pendahulunya itu minimal memakan waktu sekitar 15 tahun."Dengan kurun waktu 15 tahun atau lebih itu, bekas perladangan tersebut bisa menghutan kembali. Karena seiring manugal’,adat mengharuskan masyarakat menanam bibit pohon sebagai pengganti hutan yang ditebang,"ujarnya Pepohonan tersebut berupa pohon yang bisa besar dan daunnya rimbun, seperti meranti dan ramin.Pada umumnya. penanaman pepohonan jenis kayu hutan itu bercampur dengan tananam yang menghasilkan buah, seperti durian, kemiri, dan pohon langsat. Kelak, hasil hutan itu bisa berguna bagi generasi mendatang.Menurut dia,  ada pula yang menjadikan bekas ladang itu menjadi kebun karet, yang penanamannya bersamaan saat menugal atau saat lahan masih bersih dan sehabis panen padi.Mengenai pembakaran lahan untuk persiapan berladang, warga Dayak tidak sembarangan. Sebelum melakukan pembakaran pepohonan yang mereka tebang, terlebih dahulu melakukan penumpukan dan membuat sekat-sekat agar api tidak menjalar ke lain tempat. Selain itu, sebelum melakukan pembakaran lahan, warga Dayak meratus terlebih dahulu memperhitungkan waktu tibanya musim penghujan."Pada menjelang musim penghujan tersebut, mereka melakukan pembakaran, sehingga kabut asap tidak menyebar ke mana-mana," Untuk memperkirakan musim penghujan bakal tiba, mereka melihat tanda-tanda alam, seperti letak bintang "haur bilah" (empat bintang dengan bentuk posisi seperti layang-layang) serta fenomena alam lainnya, antara lain sarang laba-laba dan pohon lurus (sungkai).
          
Wanang Dalam kegiatan bertaninya, Dayak Meratus memiliki tradisi yang disebut "wanang" atau bawanang",  tradisi bersifat ritual berupa acara selamatan untuk memohon dan menyatakan syukur kepada Sang Hyang, yang menguasai dan mengatur alam semesta.Sebagai  contoh, sebelum "manugal", mereka terlebih dahulu mengadakan acara selamatan yang disebut "wanang umang",selamatan sebelum benih padi dimasukan ke dalam lubang. Kemudian menjelang panen, mereka terlebih dahulu mengadakan "wanang sambu", selamatan untuk memulai panen.
Ketika selesai panen dan padinya sudah masuk dalam "lulung",lumbung terbuat dari kulit kayu tahan hujan, mereka kembali mengadakan acara selamatan yang disebut "aruh ganal" (pesta besar) sejak tempo dulu, masyarakat Dayak Meratus tak akan menikmati hasil panen pada tahun tersebut kecuali sesudah mengadakan selamatan.Acara "bawanang" dipimpin seorang tokoh masyarakat Dayak yang memiliki ilmu tinggi dari kepercayaan mereka, yaitu pemuka agama yang disebut "balian"dan pelaksanaan kegiatan tersebut secara gotong-royong.Pada acara "bawanang" selalu tak ketinggalan jenis makanan berupa "lamang", nasi ketan bakar dalam bumbung bambu


Senin, 18 April 2011

Kearifan Lokal Dayak Jaga Anggrek Meratus

                                                             Sumber photo:
Tak bisa dipungkiri Meratus kini telah dikenal sebagai surganya anggrek, tidak hanya di dalam negeri tapi juga didunia internasional.Bahkan dalam sebuah film mancanegara pernah mengisahkan tentang pencarian anggrek langka di tanah Borneo ini.Di sepanjang pegunungan Meratus ini pula lah masyarakat adat Dayak Meratus tinggal. Suku Dayak Meratus atau suku Bukit inilah yang tinggal dan hidup berdampingan dan mengelola kawasan hutan Meratus dengan kearifan lokal yang masih kental hingga saat ini.
Masyarakat adat Dayak Meratus tidak memiliki orientasi materialis dan sifat kompetitif. Sumber daya alam yang mereka butuhkan, hanya diambil secukupnya sesuai kebutuhan dan kemampuan. Meskipun Kearifan lokal Dayak tidak mengenal istilah konservasi, namun sejak turun-temurun ternyata sudah mempraktekkan aksi pelestarian terhadap tumbuhan dan hewan secara mengagumkan. sebagai contoh menentukan suatu kawasan atau situs yang dikeramatkan secara bersama-sama. Kearifan lokal seperti itu, terbukti ampuh menyelamatkan suatu kawasan beserta isinya dengan berbagai bentuk larangan yang disertai dengan sanksi adat bagi yang melanggarnya. Bagi mereka yang melanggar ketentuan tersebut akan dikenai denda yang besarnya ditetapkan oleh kepala adat setempat. Kenyataannya, kearifan lokal seperti ini terbukti mampu menghambat lajunya kerusakan alam akibat pembalakan liar.

Kearifan Lokal sering kali tidak lepas dengan hal-hal tabu atau hal-hal yang dilarang, mitos, maupun religi. Kasus lain yang didalamnya sarat akan kearifan lokal ialah adanya anggapan bahwa paku tanduk rusa (platycerium) sebagai tumbuhan tempat bersemayamnya roh halus/hantu tak heran jika kita tidak menemukan masyarakat setempat yang menanam tanaman ini. Hal ini berlaku pula untuk tanaman Paku Sarang Burung Baik dari genus Asplenium ataupun Drynaria
.
Dalam hal menjaga kelestarian anggrek Meratus erat kaitannya dengan kebiasaan atau Kearifan lokal masyarakat Dayak Meratus dalam menjaga Hutan yang merupakan habitat bagi Anggrek.
Berdasarkan penelitian yang dilakukan LPMA Borneo Selatan, masyarakat adat Dayak Meratus memberlakukan wilayah ’katuan larangan’ (hutan larangan). Dalam wilayah itu, segala aktivitas pemanfaatan lahan seperti ’bahuma atau manugal’ (bertani atau berladang) tidak diperbolehkan.
.
Katuan larangan’ diperuntukkan dan diyakini sebagai tempat bersemayamnya arwah leluhur. Pohon di wilayah itu tidak boleh di tebang. Pemanfaatan hutan hanya sebatas hasil hutan non kayu.  Wilayah itu biasanya terletak di ketinggian diatas 700 meter dari permukaan laut.  Pada ketinggian inilah hidup anggrek yang tumbuh baik pada suhu hangat  26-35°C pada siang hari dan 18-24°C pada malam hari misalnya   jenis Phalaenopsis, Vanda dan Dendrobium.
Ada lagi wilayah ’katuan adat’ (hutan adat). Wilayah tersebut milik Balai yang sebagian boleh dibuka untuk ’bahuma’. Masyarakat sekitar Balai diperbolehkan menebang pohon untuk kebutuhan membangun rumah dan kayu bakar di wilayah itu.
Di wilayah ’katuan adat’ boleh ditanami tanaman perkebunan atau tanaman keras setelah tidak lagi dipergunakan untuk ’bahuma’. Masyarakat setempat menyebutnya dengan istilah ’jurungan’ atau wilayah bekas ladang yang ditinggalkan untuk kemudian didatangi kembali.
Sungguh hubungan manusia dengan alam yang sangat harmonis, sayangnya kearifan lokal ini tidak dimiliki oleh masyarakat  pada umumnya sehingga intervensi dan kegiatan ilegal di Hutan Meratus masih tetap terjadi. Sehingga mengancam habitat anggrek yang berujung pada terancamnya spesies anggrek-anggrek  Meratus, sudah sepatutnya ‘Ratu para bunga’ Meratus ini  perlu mendapat perhatian lebih serius lagi, terlebih untuk spesies-spesies yang kini mulai langka seperti Phalaenopsis amabilis pelaihari dan Spatoglothis zurea.